Selasa, 13 Oktober 2009

Economic Nationalism yang Berujung pada Proteksionisme (Proteksionisme dan Nasionalisasi Ekonomi)

Kata-kata yang keluar dari mulut seorang Barrack Obama, Presiden Amerika berkulit hitam pertama ternyata bisa berpengaruh besar terhadap iklim perekonomian dunia. Pada saat Obama menyerukan kepada rakyatnya untuk membeli produk dalam negeri Amerika dengan jargon ‘American Buy’, banyak negara maju yang meradang dan menganggap seruan tersebut sebagai suatu bentuk perintah dari pemerintah untuk melaksanakan suatu proteksionisme barang dalam negeri dari serbuan barang impor. Seruan Presiden Obama tersebut bukanlah tanpa sebab. Seruan yang kemudian disebut sebagai upaya economic nationalism tersebut dilakukan dalam rangka penyelamatan ekonomi negara di tengah gelombang resesi dunia. Kebijakan proteksionisme inilah yang kemudian memicu banyak negara melakukan hal yang sama.

Situasi ini sebenarnya sudah pernah dialami Amerika pada awal 1990-an. Kalau kita kembali pada saat terjadinya peristiwa Great Depression tahun 1929, Amerika sudah pernah melakukan hal yang sama. Pada saat itu, Willis Hawley dan Reed Smoot menjadi tokoh-tokoh yang melatarbelakangi suatu kebijakan proteksionisme di mana Amerika menaikkan tarif impor pada level tertinggi dalam sejarah Amerika. Kebijakan itu merupakan suatu bentuk solusi dalam menghadapi krisis ekonomi yang menyebabkan kenaikan angka pengangguran secara luar biasa. Setelah kondisi ekonomi mulai membaik, pada akhirnya Amerika menghapuskan kebijakan proteksionisme tersebut dan kembali melakukan perdagangan dengan regulasi yang wajar tanpa adanya proteksionisme.

Krisis global saat ini memaksa tiap negara memikirkan cara-cara untuk menyelamatkan negaranya masing-masing. Tidak terkecuali dengan Amerika Serikat era Obama. Kebanyakan orang mendewakan Obama dan menganggap Obama adalah sosok penyelamat yang mampu membangkitkan perekonomian Amerika. Banyak orang menaruh harapan bahwa kebangkitan perekonomian Amerika bisa berimbas pada perekonomian dunia secara umum, termasuk Indonesia. Namun siapa yang menyangka Amerika mengambil posisi untuk memproteksi perdagangan dalam negerinya. Dengan harapan proteksi tersebut bisa membatasi jumlah impor yang masuk ke Amerika, sekaligus memperbanyak jumlah sumbangan dari Net Ekspor (ekspor kurang impor) untuk GDP negara tersebut. Suatu kebijakan yang terkesan egois dan bisa memberikan imbas yang buruk bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dengan mereka.

Kebijakan proteksionisme dari Amerika ternyata ditanggapi juga dengan kebijakan yang sama oleh negara-negara maju lainnya. Negara-negara lain menganggap bahwa sikap yang diambil Amerika harus membuat mereka mengambil sikap yang sama agar Amerika tidak mendapatkan untung yang luar biasa dari mereka sementara negara mereka sendiri mengalami kerugian yang tidak sedikit dari perdagangan tersebut. Suatu keadaan yang mungkin dapat dijelaskan dengan menggunakan penjelasan “Game Theory’. Negara China yang merasakan imbasnya secara langsung yakni penurunan angka ekspor baja dan besi melakukan protes atas kebijakan Amerika tersebut. Bahkan negara Inggris mengeluarkan jargon provokatif yang secara eksplisit menyiratkan kebijakan proteksionis yang diambil negara tersebut yakni ‘British workers for British jobs’. Dan bukan tidak mungkin negara-negara lain akan mengikuti langkah dari negara-negara tersebut.

Suatu fenomena yang sepertinya mengindikasikan banyak negara yang mulai menjadi pragmatis dan menganut paham merkantilisme (suatu paham yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya asset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan dan bahwa besarnya volume pedagangan global teramat sangat penting) untuk menghadapi krisis global. Proteksionisme yang berarti negara berusaha untuk mengerem jumlah impor yang masuk ke dalam negara tersebut sehingga memaksimalkan keuntungan yang didapat dari melakukan perdagangan dengan negara lain.

Dimana letak negara Indonesia di dalam situasi ini? Indonesia masih tergolong negara berkembang dan secara umum tidak mempunyai bargaining position yang cukup kuat di dalam situasi ini. Indonesia sendiri suah mulai mengambil beberapa tindakan untuk menumbuhkan suatu sense economic nationalism di dalam negaranya sendiri yang sebenarnya mengarah kepada proteksionisme.

Dengan kebijakan proteksionisme dari negara yang melakukan perdagangan dengan Indonesia, tentu saja Indonesia harus tanggap dan berusaha untuk meminimalisir kerugian yang mungkin ditanggung dari interaksi dagang tersebut. Pemerintah seharusnya berani mengambil sikap dan menyadari adanya fenomena mulai berkembangnya kebijakan proteksionisme di dunia perekonomian. Karena pemerintah pastinya tidak ingin negara kita mengalami kerugian dari setiap interaksi dagang yang dilakukan. Pemerintah juga pasti tidak mau keputusan yang diambil secara tergesa-gesa membawa negara kepada kondisi dimana negara tidak siap untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, keputusan yang kritis dan tegas sangat diperlukan untuk mengatasi dampak krisis global di negara Indonesia

Cerita tentang Kemiskinan

Tidak banyak mungkin yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini (indikator standar untuk mengukur ketimpangan), Indonesia ternyata termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002).

Namun, bisakah angka koefisien Gini tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja. Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan.

Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang “low profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.

Angka koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka koefisien Gini di perkotaan sangat under-estimated. Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di perkotaan. Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35. (opini pakar ekonomi Arief A. Yusuf)

Orang di desa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi justru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah kembali bila perlu dilakukan survey bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.

Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya, sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing dengan desa yang justru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.

Secara umum masyarakat mengetahui apa itu lingkaran kemiskinan, setiap pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah, sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan kembali ke atas yaitu “karena miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin. Hal ini memerlukan waktu dan konsekuensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.