Sabtu, 10 Juli 2010

Nasionalisme dalam Memandang Perdagangan Internasional

“Bayangkan bahwa ada sebuah penemuan spektakuler: mesin yang dapat mengubah jagung menjadi perlengkapan stereo. Ketika bekerja dengan kapasitas maksimum, mesin ini dapat mengubah lima puluh karung jagung menjadi CD player. Atau melalui satu tekanan tombol mesin ini akan mengubah lima ratus karung kacang kedelai menjadi sebuah mobil sedan. Tapi mesin ini bahkan bisa lebih hebat lagi; ketika diprogram dengan tepat dia dapat mengubah software Windows menjadi anggur Perancis terbaik. Atau pesawat Boeing 747 menjadi buah-buahan dan sayuran untuk memberi makan satu kota selama berbulan-bulan. Bahkan hal paling luar biasa dari penemuan ini adalah dia dapat dibuat dimana saja di seluruh dunia dan dapat diprogram untuk mengubah apa saja yang ditanam atau diproduksi disana menjadi sesuatu yang lebih sulit dibuat .... Luar biasanya, penemuan ini telah ditemukan. Namanya perdagangan.”

(Charles Wheelan, dalam Naked Economics)


Sejak dulu perdagangan bebas adalah topik yang sarat dengan perdebatan. Namun belakangan ini perdebatan seputar perdagangan bebas semakin sering terdengar, apalagi setelah berlakunya ACFTA. Sebagian orang menentang perdagangan yang semakin bebas, sedangkan yang mendukungnya juga banyak. Argumennya pun ada bermacam-macam, mulai dari yang logis berdasarkan ilmiah sampai yang sekedar alasan emosional saja.


Bila dikaitkan dengan nasionalisme, perdebatan tentang perdagangan bebas biasanya mengarah pada pengaruhnya terhadap industri nasional. Nasionalisme merupakan antitesis dari globalisasi. Beberapa orang mengatakan bahwa perdagangan bebas akan mematikan industri nasional yang masih lemah, sehingga nantinya dapat menghancurkan jutaan lapangan pekerjaaan. Hilangnya lapangan pekerjaan ini dapat meningkatkan kemiskinan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Ujung-ujungnya, biasanya orang yang mengaku nasionalis akan menolak perdagangan bebas dan mengupayakan ditutupnya perekonomian Indonesia dari pengaruh internasional, seperti mengumandangkan kampanye “Beli Produk Indonesia!”. Apakah nasionalisme yang seperti itu sudah benar?


Di Indonesia, perdangangan memang belum sepenuhnya bebas, meskipun kecenderungannya sejauh ini adalah ke arah yang lebih bebas. Lalu bagaimana pengaruh perdagangan bebas bagi industri nasional yang sering diperdebatkan ini? Hasilnya memang belum dapat dipastikan, namun kita dapat melihat apa yang terjadi sejauh ini. Indonesia memulai kebijakan perdagangan yang lebih terbuka sejak menerapkan kebijakan industri berorientasi ekspor di pertengahan 1980-an. Kebijakan orientasi ekspor ini artinya mengembangkan industri yang berfokus pada mengekspor hasil produksinya. Jika mau mengekspor, tentu perdagangan harus dibuka dahulu, karena masalah ekspor-impor ini tidak bisa sepihak saja. Bukti empiris menunjukkan bahwa semenjak itu, industri Indonesia termodernisasi, pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan jutaan lapangan pekerjaan modern telah terbuka. Selama pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an, pertumbuhan sektor industri manufaktur Indonesia adalah sekitar 10%-12% per tahun. Sedangkan dalam hal pekerjaan, proporsi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor industri meningkat dari 9,28 persen di tahun 1985 menjadi 12,88 persen di tahun 1997. Ini adalah bukti bahwa perdagangan telah membantu Indonesia dalam membangun sektor industri dan membuka lapangan pekerjaan modern bagi jutaan orang.


Dari sisi kesejahteraan, meskipun ada banyak faktor lain yang memengaruhinya, jelas masyarakat Indonesia saat ini lebih sejahtera dibanding katakanlah di tahun 1960-an dan 1970-an, ketika negara ini jauh lebih tertutup dalam perdagangan. Angka kemiskinan mengalami penurunan signifikan dalam lima puluh tahun terakhir, sedangkan pendapatan terus meningkat. Kualitas kesehatan masyarakat pun tidak dapat disangkal telah jauh meningkat yang tercermin dari peningkatan angka harapan hidup, turunnya angka kematian ibu dan bayi dan bebagai indikator lainnya. Sekali lagi memang tidak dapat dikatakan bahwa perdagangan adalah satu-satunya penyebab dari semua ini, namun secara logis tentu ada hubungannya. Tanpa terbukanya lapangan kerja dari industri berorientasi ekspor, siapa yang tahu akan setinggi apa tingkat pengangguran dan kemiskinan pada saat ini? Lalu tanpa masuknya alat kesehatan, obat-obatan serta pertukaran gagasan dan ilmu dari negara lain, tidaklah mungkin kualitas kesehatan masyarakat akan dapat ditingkatkan begitu pesat. Semua ini menunjukkan bahwa perdagangan telah membawa begitu banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia.


Meskipun sudah melihat beberapa manfaat perdagangan yang telah diterima Indonesia, manfaat yang terbesar justru belum diutarakan, yaitu luasnya pilihan yang terbuka oleh perdagangan. Mengapa pilihan begitu penting? Karena dengan terbukanya pilihan maka masyarakat dapat memutuskan untuk memilih mana yang terbaik bagi mereka tanpa harus terusik dari mana pilihan itu berasal. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat (dalam bentuk konsumsi) yang melakukan pilihan tanpa dibatasi oleh keharusan membeli produk dengan harga lebih mahal dari beberapa perusahaan nasional yang mungkin kurang efisien. Bayangkan bahwa tanpa perdagangan yang meibatkan dunia internasional, masyarakat harus memakai kendaraan bermotor, ponsel, komputer, televisi, dan lain-lain yang dibuat di dalam negeri. Padahal belum tentu kualitasnya lebih bagus dan harganya lebih murah. Kalaupun terjadi, masyarakat Indonesia juga dipaksa bersabar untuk menunggu kemampuan industri nasional yang mandiri dalam memproduksi barang-barang tersebut. Seperti yang telah disampaikan pada pembukaan tulisan ini, perdagangan telah memungkinkan masyarakat untuk mengubah barang atau jasa yang mampu diproduksinya sendiri menjadi apapun yang jauh lebih sulit dan mahal bila harus dibuat sendiri.


Perdagangan memang juga tidak selamanya manis, dia akan menghukum mereka yang malas, tidak berinovasi, dan tidak mau berkompetisi. Memang benar bahwa ada perusahaan-perusahaan domestik yang terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Pada umumnya perusahaan yang harus gulung tikar ini adalah perusahaan yang kurang kompetitif dan kurang efisien, perusahaan-perusahaan seperti itu memang selayaknya dihukum agar masyarakat dapat memperoleh barang dan jasa dengan harga yang lebih terjangkau dan berkualitas.


Ironisnya, terkadang mereka tidak efisien dan tidak kompetitif juga bukan sepenuhnya salah mereka. Terkadang yang menjadi alasan bahwa perusahaan domestik tidak kompetitif adalah keadaan iklim usaha Indonesia yang memang belum mendukung. Diantaranya yang membuat tidak kompetitif adalah infrastruktur buruk, birokrasi yang rumit, peraturan ketenagakerjaan yang terlalu kaku, pemerintahan yang belum bersih, dan berbagai hal lainnya. Dengan demikian jelas bahwa kekalahan dalam perdagangan itu adalah karena kekurangan domestik, sedangkan perusahaan asing yang lebih kompetitif tidak mungkin dapat dipersalahkan.


Bagaimana Seharusnya Nasionalis Menyikapi Perdagangan Bebas?

Nasionalis sejati tentunya akan melakukan yang terbaik bagi negaranya. Jika perdagangan internasional justru menguntungkan buat rakyat Indonesia, tentu nasionalis akan menyetujuinya. Kalau masalah dalam perdagangan terletak di negeri sendiri, seorang nasionalis akan berjuang untuk memperbaikinya, bukannya menyalahkan negara lain dan minta perdagangan ditutup. Dalam hal ini, semangat nasionalisme harus ditempatkan pada posisi yang benar. Untuk itu, nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif perekonomian serta membantu menciptakan iklim usaha yang juga kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing.


Lalu bagaimana dengan seruan “Beli produk Indonesia” yang sering diteriakkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya nasionalis? Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu keuntungan terbesar dari perdagangan adalah terbukanya pilihan. Bukankah seruan tersebut jelas sekali membatasi pilihan? Ambil satu contoh, misalnya dalam hal pakaian. Saat ini pakaian murah dari Cina telah sangat besar jumlahnya di Indonesia, dan masyarakat Indonesia yang tingkat pendapatannya tidak terlalu tinggi sangat tertarik untuk membelinya karena harganya yang murah. Tentunya bukan salah mereka jika memilih pakaian yang lebih murah. Pendapatan atau tingkat kesejahteraan lah yang memaksa mereka. Dalam kasus ini jelas bahwa tersedianya pilihan sangat menguntungkan terutama bagi masyarakat miskin, dan memang seperti ini kasusnya untuk sebagian besar barang yang diimpor dari Cina. Nasionaliskah bila seseorang melarang orang miskin mencukupi kebutuhannya? Nasionalis yang sebenarnya tentu tidak akan sepicik itu.


Seorang ahli ekonomi, Dudley Seers (1981) mengatakan bahwa ketergantungan ekonomi tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Langkah yang harus dipastikan ialah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing. Ketergantungan pada utang, modal dan produk asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa. Dengan memanfaatkan perdagangan internasional, Indonesia harus mampu mengupayakan suatu strategi pembangunan ekonomi yang secara sistematis dapat menggeser keunggulan kompetitif Indonesia dari tenaga kerja murah dan berpangku pada sumber daya alam menuju kepada sebuah ekonomi yang didominasi oleh sumber daya manusia yang trampil dan profesional, produksi manufaktur yang berdaya saing tinggi serta mampu memberikan pelayanan (service) yang unggul dan berkualitas.


Dengan demikian, seorang nasionalis seharusnya mampu berpikir secara kritis dalam mencari solusi terbaik bagi negaranya. Sehingga yang diteriakkan bukan lagi sekedar “Beli produk Indonesia”, tapi “Lanjutkan Reformasi Birokrasi!” atau “Perbaiki infrastruktur!” karena nasionalis itu sadar masalahnya ada di Indonesia. Bahkan jika memungkinkan, nasionalis dapat berperan memajukan perekonomian Indonesia secara langsung dengan berkarya sebagai entrepreneur dan membuka usaha. Seperti itu baru layak disebut nasionalis, berpikiran terbuka dan tahu apa yang harus diperjuangkan.

Senin, 19 April 2010

Kesetaraan Gender (Mungkin) Hanya Sebuah Utopia

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diterjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1982), terdapat sebuah surat Kartini tertuju kepada Nn Zeehandelaar (6 November 1899) yang berisi: “Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya.”


Seabad lalu, cita-cita emansipasi perempuan telah diperjuangkan oleh Kartini. Ide emansipasi muncul karena adanya ketidakadilan yang diberlakukan kepada kaum wanita, seperti ketidaksamaan hak yang dimiliki perempuan dan laki-laki dengan alasan gender. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa emansipasi merupakan suatu pemikiran yang bertujuan menyamakan hak-hak perempuan dengan hak laki-laki, membela dan melindungi hak-hak tersebut.


Kini, kaum perempuan telah mampu mengembangkan diri dengan mengambil peran di berbagai bidang, baik di bisnis, politik, dan aktivitas sosial lainnya. Berbicara mengenai bisnis, sekarang sudah banyak perempuan yang menjadi profesional di perusahaan. Secara sekilas perjuangan emansipasi sebagai produk kesetaraan antara peran perempuan di dalam dan luar rumah dapat dikatakan sudah berhasil terlaksana.

Namun yang terjadi saat ini tidaklah sepenuhnya sesuai dengan tuntutan emansipasi yang diinginkan banyak perempuan. Contoh kasusnya seperti yang ditulis Advertising Age dalam Whitepapernya yang bertema “The New Female Consumer (2009)” - persepsi publik yang masih menancap kuat adalah perempuan tetap saja dirancang sebagai chief operating officer di rumah. Laporan tersebut disusun berdasarkan riset terhadap 870 responden pria dan perempuan di Ameria Serikat.


Masih banyak juga yang meragukan kualitas dan karakteristik perempuan. Pada 2005, dalam pidatonya, Lawrence Summers – Presiden Harvard University – mengajukan hipotesis “jangan-jangan lebih sedikitnya perempuan yang menjadi ilmuwan dibandingkan lelaki dikarenakan kemampuannya memang berada di bawah lelaki”. Pernyataan tersebut langsung menimbulkan gelombang protes yang membuat Summers mengundurkan diri. Bisa dibayangkan Amerika Serikat yang praktek bisnis dan demokrasinya begitu berkembang, persepsi publik masih menempatkan kodrat perempuan hanya untuk di rumah.


Hal serupa juga terjadi pada tradisi gender di Indonesia. Bahkan, istilah “wanita” yang sering digunakan sebagai padanan kata perempuan menunjukkan adanya diskriminasi. Kata wanita berasal dari kata wani dithatha atau berani ditata. Makna ini menimbulkan konotasi bahwa perempuan jarang diposisikan sebagai sosok yang berada atas. Sebuah persepsi di mana perempuan selalu siap menerima perintah. Sampai sekarang persepsi itu masih lekat di masyarakat.

Adanya peraturan yang menyatakan kuota minimal perempuan yang berhak menjadi wakil rakyat secara tidak langsung justru menunjukkan jati diri perempuan sebagai makhluk yang lemah atau belum sanggup bersaing dengan laki-laki. Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.


Banyak penelitian tentang lambatnya kaum perempuan meraih posisi manajemen puncak. Tharenou (1998) misalnya, mengatakan, perempuan yang ingin mencapai posisi puncak seringkali gagal karena penghambat yang tak kelihatan. Penghalang itu ibarat langit-langit kaca (glass ceiling). Meski kesamaan derajat disuarakan sejak puluhan tahun silam, namun stereotipe perempuan nomor dua masih tetap ada.

Tidak mudah bagi perempuan untuk bisa mengalami pergerakan karir ke atas. Selain karena persepsi yang sudah menjadi tradisi - bahwa perempuan itu lemah, halus perasaan sehingga sulit untuk bertindak tegas, kurang agresif, dan karakter lain yang menjadi lawan dari pria yang tegas, tegar, kokoh, cepat, dan lebih mengandalkan pikiran dari pada perasaan - hambatan juga muncul dari lingkungan sekeliling seperti keluarga, masyarakat, dan tempat perempuan berinteraksi termasuk di lingkungan kerja mereka. Persepsi yang sudah menjadi budaya inilah yang menyebabkan proses emansipasi masih terlalu sulit untuk bisa diterapkan seutuhnya.

Senin, 12 April 2010

ACFTA (Ternyata) Membawa Manfaat

1 Januari 2010 merupakan awal mulai diberlakukannya ASEAN and China Free Trade Area (ACFTA). Konsekuensi dari adanya perjanjian perdagangan ini adalah pembukaan pasar dalam negeri secara luas untuk dapat dimasukibarang-barang industri dari negara yang ikut dalam perjanjian tersebut. Perjanjian ini sendiri sudah direncanakan sejak 2002 dan ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja.

Ketakutan mulai muncul dari kalangan industri dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah. Alasan utamanya adalah, usaha lokal yang dijalankan di dalam negeri akan tidak berdaya tergerus produk-produk negara lain. Hal ini diperparah dengan kondisi bangsa yang belum kompetitif untuk menjalankan usaha sebagai akibat kurangnya infrastruktur, birokrasi rumit, SDM kurang berkualitas, dan sebagainya.


Namun, jika dianalisa lebih lanjut, ACFTA dapat berpotensi sebagai upaya untuk memajukan industri yang lebih kompetitif dan menunjang kesejahteraan masyarakat. Manfaat yang dapat dirasakan Indonesia dengan menjadi bagian dalam perjanjian ini diantaranya:

  1. Peluang meningkatkan pangsa pasar ke luar negeri, khususnya wilayah ASEAN dan China.

Dengan adanya kerjasama free trade area dengan negara-negara ASEAN dan China akan membuka kesempatan bagi produsen lokal untuk bersaing dan memperluas pasar bagi produknya. Hal ini salah satunya didukung oleh ditiadakannya tarif masuk produk ke negara lain.

  1. Peluang meningkatkan investasi dari negara-negara ASEAN dan China yang akan membuka lapangan kerja dan menerap tenaga kerja Indonesia.

Semakin dibukanya akses perdagangan dan ditekannya hambatan-hambatan (barriers) perdagangan akan mendorong proses investasi ke negara yang menawarkan keuntungan lebih. Indonesia dianggap sebagai negara yang menguntungkan karena disamping potensi pasar yang besar, ketersediaan sumber daya juga menjadi alasan besarnya minat investor menanamkan modalnya.

  1. Tersedianya barang-barang yang lebih murah dan berkualitas sehingga daya beli masyarakat akan meningkat serta kepuasan konsumen akan lebih terpenuhi.

Peningkatan persaingan produsen di negara-negara ASEAN dan China menuntut terciptanya proses produksi dan turunannya yang efisien. Konsekuensi logis yang dihasilkan adalah munculnya produk-produk yang lebih terjangkau dan berkualitas.

  1. Meningkatkan proses produksi di Indonesia yang lebih efisien.

Dengan diberlakukannya ACFTA, produsen-produsen di Indonesia akan semakin mudah untuk mendapat bahan mentah, modal, tenaga kerja dan sumber daya lainnya sehingga proses produksi akan semakin lancar dan efisien.

  1. Meningkatkan posisi tawar Indonesia ketika melakukan penawaran kerjasama bilateral dengan negara lain, terutama terhadap negara maju.

Jika Indonesia keluar dari ACFTA, maka alternatif untuk tetap menjalin perdagangan internasional adalah dengan menjalin perdagangan bilateral (Bilateral Free Trade Agreement). Akan menjadi masalah ketika Indonesia membuat BFTA dengan negara yang lebih maju, yakni Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih lemah, dan akhirnya akan membahayakan proses negosiasi bagi Indonesia. Salah satu contohnya ketika Indonesia negosiasi dengan Amerika Serikat pada tahun 2004 di bidang tekstil dan furnitur, dimana AS memaksa memasukkan pasal mengenai HAKI (hak intelektual) meski belum disahkan secara global. Pasal inilah yang akhirnya merugikan bagi Indonesia.

  1. ACFTA merupakan kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dimana dilakukan dengan model consultation (musyawarah) yang tetap mempertimbangkan kemampuan anggota yang paling lemah.

Dengan demikian, nogosiasi menggunakan forum ASEAN menjadi sangat hati-hati. Negosiasi ini akan menjadi lebih ‘aman’ dibandingkan dengan BFTA.

  1. ACFTA akan menimbulkan trade creation yang akan mendorong terciptanya keunggulan komparatif masing-masing perekonomian.

Trade creation terjadi saat produksi domestik di suatu negara digantikan dengan barang impor- yang biaya produksinya lebih rendah- dari negara lain yang berpartisipasi dengan FTA. Hal ini dengan sendirinya akan mendorong spesialisasi dari setiap negara dengan asumsi bahwa seluruh sumber daya digunakan dalam proses ekonomi. Peningkatan spesialisasi dari setiap negara- berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing- akan membuat kesejahteraan masyarakat meningkat dengan memaksimalkan spesialisasi yang dimiliki tersebut.


Dalam jangka pendek, ACFTA pasti akan berdampak pada penyesuaian struktural yang ditandai adanya adjustment dimana industri dalam negeri yang tidak kompetitif akan kalah dan merugi. Inilah yang kemudian akan menyebabkan defisit perdagangan bilateral Indonesia-China memburuk. Tapi dalam jangka panjang, industri domestik akan menjadi semakin kompetitif, professional, aware akan persaingan dan memaksa setiap negara untuk berinvestasi pada kualitas SDM, modal fisik, serta teknologi. Sehingga nantinya keunggulan komparatif akan meningkat dan masyarakat menjadi lebih sejahtera berkat perdagangan internasional.

Tak Kusangka Mengapa Bisa Terjadi Seperti Ini

Senin, 15 Maret 2010. Hari ini adalah hari pertama UTS enamku. Hahh, udah semester enam?? Ga terasa, umurku di kampus ini tidak lama lagi.

Setelah meluangkan waktu sejenak bergumul dengan serangkaian soal-soal Pemasaran Jasa, aku memutuskan untuk bersantai dahulu bersama temanku. Sembari menunggu hujan reda, kami berbincang di selasar dekanat. Hari ini (seperti ujian biasanya) aku merasa jengkel karena ga bisa mengerjakan ujian dengan baik. “Lain kali aku harus lebih serius mempersiapkannya,” begitu janjiku dalam hati.


Setelah sekian lama berbincang sambil bertukar pikiran, meskipun kebanyakan ngobrol yang ga jelas, kami dihampiri seorang bapak separuh baya. Dengan penuh keheranan, dia menanyakan prosedur mengurus surat izin ujian susulan bagi anaknya. Bajunya yang basah kuyup menandakan ketidak berdayaan dia melawan cuaca. Bapak itu berbicara dengan terbatah-batah, heran sekaligus pasrah. Kasihan aku melihatnya. Tapi pengorbanannya untuk pendidikan anak memang tak terucap lagi dengan kata-kataku.


“Ke ruang Birpen aja pak! Ntar diurus di sana.” sahutku. Si bapak mengiyakan perkataanku. Tapi dia juga menambahkan kalo dia sudah dari ruangan itu. Permasalahannya adalah surat keterangan dokter yang ia bawa tidak cukup membuktikan kesakitan putrinya. Peraturan mengatakan yang berlaku hanyalah surat keterangan rawat inap. “Gimana ya dek, bagusnya?” tanya si bapak penuh kebingungan. Putrinya yang mengalami sakit pada kepala (pusing) ditambah pinggangnya yang tak kuat untuk duduk berlama-lama memang hanya diobati dengan rawat jalan. Bahkan, tambah si bapak, anaknya juga terkadang di bawah ke pengobatan tradisional dengan obat-obatan yang tidak terlalu mahal.


Kalau ga salah nama putri bapak itu Nendi (sengaja disamarkan untuk kepentingan orang tersebut). Bapak itu bilang dia jurusan akuntansi angkatan 2009.

Sambil memancarkan kesedihan, si bapak melanjutkan curhat ke kami tentang anaknya. “Anak saya susah disuruh makan dek. Sering pulang malam dari kampus, langsung ngerjain tugas sampe lupa makan.” Imbuhnya. “Apalagi dia suka puasa, tapi sering ga sahur. Bapak pusing juga mikirin kesehatannya.”


Jedah……..


“Bapak takut dia ga bisa ikut ujian, kan kasian dianya.” bapak itu membangunkanku dari lamunan. Ya, aku sedang melamun pada saat itu. Aku teringat tentang banyak teman-temanku yang mengalami hal serupa. Tapi untungnya mereka punya banyak sumber daya, jadi mendapatkan surat keterangan rawat inap dari rumah sakit bukan hal yang sulit. Bahkan ada yang sekedar mengurus surat rawat inap meskipun sebenarnya dia tidak mesti dirawat inap. Uangnya pasti cukup untuk membayar petugas rumah sakit, atau seenggaknya dia punya kerabat yang bekerja di sebuah rumah pesakitan itu. Bagaimana dengan si bapak ini? Kalo dilihat dari kondisi fisiknya, sepertinya dia bukan dari kalangan berada.


Sial, mengapa ada peraturan seperti itu? Mengapa surat keterangan dokter tidak berlaku? Apakah dekanat sudah tidak percaya lagi dengan profesionalitas dokter? Apakah ketika orang-orang dekanat sakit, mereka selalu dirawat inap? Atau memang dekanat ingin menyusahkan orang yang sudah susah?


Bagaimana orang-orang yang sakit migren, diare ringan, sakit perut, pusing, demam biasa, atau penyakit lainnya yang sebenarnya ga butuh rawat inap? Untuk apa dirawat inap? Dengan beristirahat sejenak ditambah perawatan sederhana (sekedar makan paracetamol) saja penayakit itu bisa sembuh. Apa mereka harus berbohong pada dokter kalo penyakitnya parah dan butuh dirawat inap? Apa mereka dan dokter harus bohong bareng untuk mengeluarkan surat rawat inap? Atau kebohongan apa lagi yang harus mereka lakukan?


Peraturan memang penting untuk diberlakukan. Tapi peraturan itu kan dibuat untuk mengatur kehidupan biar lebih tertib. Maksudnya ketika terjadi kesalahan dengan peraturan itu, atau mungkin peraturan tersebut tidak relevan lagi, mengapa masih tetap dijalankan? Bukannya justru peraturan yang salah ketika diberlakukan akan menciptakan kesalahan? Apakah kita sudah tidak bisa lagi membuat peraturan sendiri yang sesuai dengan keperluan ketertiban kita? Apakah kita kehabisan akal untuk merumuskan peraturan yang lebih adil?


Surat keterangan rawat inap buat ujian susulan memang sebuah peraturan yang bodoh dan kaku. Mungkin lebih tepatnya orang yang merumuskannya yang bodoh. Tapi lebih bodoh lagi orang-orang bagian dari sistem yang menjalankan peraturan itu hanya pasrah dan justru menjunjungnya.

Jumat, 12 Maret 2010

Kemandirian Usaha Kecil dan Menengah

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai fungsi strategis dalam perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi, usaha skala jenis ini lebih fleksibel terhadap turbulensi ekonomi. Sifatnya yang padat karya juga mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Kini, sudah selayaknya UKM memberikan pengaruh yang lebih luas, baik dalam hal hasil produksi bagi masyarakat maupun dalam mengurangi tingkat pengangguran. Namun, terdapat berbagai permasalahan dan kekurangan yang mengganjal dalam menjalankan UKM ini. Peran pemerintah sebagai perumus kebijakan diperlukan hanya untuk mendukung terciptanya proses ekonomi yang lebih efektif dan efisien. Dari sekian banyak peran yang dapat dilakukan, pemerintah harus memfokuskan diri dalam hal (i) Membantu kelancaran distribusi bahan baku dan hasil produksi dengan meningkatkan infrastruktur serta mengurangi pungutan liar untuk menciptakan pengangkutan yang efisien. (ii) Mendorong terciptanya tingkat suku bunga komersial yang dapat dijangkau UKM, baik oleh bank BUMN maupun swasta. (iii) Memberikan pelatihan teknologi dan pembinaan manajemen UKM agar lebih kompetitif. (iv) Menjamin tercipatanya persaingan yang benar dan adil (non-monopoly competitiveness) baik antara sesama UKM ataupun dengan usaha berskala besar.

Peran yang lebih dominan harus dilakukan oleh UKM itu sendiri. Kreativitas menjadi kata kunci yang harus dikembangkan. Dengan meningkatkan kreativitas, UKM bisa menciptakan differentiation terhadap usaha-usaha yang ada. Faktor pembeda inilah yang menjadi competitive advantage UKM dalam menghadapi persaingan. Tentu saja, harus disertai dengan peningkatan kualitas produk tersebut. Selain itu, unsur-unsur marketing, seperti perpaduan marketing mix, pelaksanaan Integrated Marketing Communication (IMC) yang efektif dan peningkatan relationship marketing, harus lebih diperhatikan lagi. Dalam hal inilah, UKM Indonesia masih jauh tertinggal dari usaha sejenis di negara lain.

Pelaku UKM Indonesia akan bisa bersaing ketika tidak terlalu bergantung dengan bantuan pemerintah, namun lebih mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki. Terkait dengan adanya perjanjian kerjasama perdagangan ASEAN dan China (ACFTA), seharusnya UKM bisa berpikir bahwa perdagangan tanpa tarif ini akan semakin membuka peluang potensial dalam pengembangan pasar. Hal ini harus disikapi dengan penggandaan motivasi untuk berkreasi dan bersaing lebih efisien. Sebagaimana mestinya, usaha-usaha yang tidak mampu efisien harus mengakui kekalahan dan mundur dari suatu perekonomian.

Ketika berbicara pada hal yang lebih radikal dalam meningkatkan daya saing UKM, hal yang mesti disikapi adalah jiwa entrepreneur. Seringkali masyarakat Indonesia takut dan tidak punya inisiatif untuk menjalankan usaha. Bahkan lulusan perguruan tinggi, terlebih yang berasal dari jurusan bisnis dan manajemen cenderung memilih “bermain aman” dengan menjadi pegawai di perusahaan yang sudah berkembang. Di bidang inilah peran pemerintah dan akademisi lebih dibutuhkan. Langkah nyata yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan mental wirausaha di dunia pendidikan, seperti memasukkan mata ajar kewirausahaan pada sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Di samping itu, pemberian bantuan soft loan bagi pelajar/ mahasiswa yang ingin memulai menjalankan usahanya juga dapat menjadi alternatif solusi dalam meningkatkan jiwa wirausaha bangsa ini.