Selasa, 13 Oktober 2009

Cerita tentang Kemiskinan

Tidak banyak mungkin yang menyadari bahwa, berdasarkan angka koefisien Gini (indikator standar untuk mengukur ketimpangan), Indonesia ternyata termasuk ke dalam 30 negara yang paling merata sedunia (diperingkat dari data Bank Dunia, World Development Indicator 2002).

Namun, bisakah angka koefisien Gini tidak tepat dalam merepresentasikan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sebenarnya? Tentu saja. Penyebab pertama, angka ketimpangan di Indonesia diukur dari angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan.

Penyebab yang kedua adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang “low profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.

Angka koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka koefisien Gini di perkotaan sangat under-estimated. Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di perkotaan. Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35. (opini pakar ekonomi Arief A. Yusuf)

Orang di desa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi justru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah kembali bila perlu dilakukan survey bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.

Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya, sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing dengan desa yang justru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.

Secara umum masyarakat mengetahui apa itu lingkaran kemiskinan, setiap pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah, sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan kembali ke atas yaitu “karena miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin. Hal ini memerlukan waktu dan konsekuensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar: