Senin, 19 April 2010

Kesetaraan Gender (Mungkin) Hanya Sebuah Utopia

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang diterjemahan Armijn Pane (Balai Pustaka, 1982), terdapat sebuah surat Kartini tertuju kepada Nn Zeehandelaar (6 November 1899) yang berisi: “Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya.”


Seabad lalu, cita-cita emansipasi perempuan telah diperjuangkan oleh Kartini. Ide emansipasi muncul karena adanya ketidakadilan yang diberlakukan kepada kaum wanita, seperti ketidaksamaan hak yang dimiliki perempuan dan laki-laki dengan alasan gender. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa emansipasi merupakan suatu pemikiran yang bertujuan menyamakan hak-hak perempuan dengan hak laki-laki, membela dan melindungi hak-hak tersebut.


Kini, kaum perempuan telah mampu mengembangkan diri dengan mengambil peran di berbagai bidang, baik di bisnis, politik, dan aktivitas sosial lainnya. Berbicara mengenai bisnis, sekarang sudah banyak perempuan yang menjadi profesional di perusahaan. Secara sekilas perjuangan emansipasi sebagai produk kesetaraan antara peran perempuan di dalam dan luar rumah dapat dikatakan sudah berhasil terlaksana.

Namun yang terjadi saat ini tidaklah sepenuhnya sesuai dengan tuntutan emansipasi yang diinginkan banyak perempuan. Contoh kasusnya seperti yang ditulis Advertising Age dalam Whitepapernya yang bertema “The New Female Consumer (2009)” - persepsi publik yang masih menancap kuat adalah perempuan tetap saja dirancang sebagai chief operating officer di rumah. Laporan tersebut disusun berdasarkan riset terhadap 870 responden pria dan perempuan di Ameria Serikat.


Masih banyak juga yang meragukan kualitas dan karakteristik perempuan. Pada 2005, dalam pidatonya, Lawrence Summers – Presiden Harvard University – mengajukan hipotesis “jangan-jangan lebih sedikitnya perempuan yang menjadi ilmuwan dibandingkan lelaki dikarenakan kemampuannya memang berada di bawah lelaki”. Pernyataan tersebut langsung menimbulkan gelombang protes yang membuat Summers mengundurkan diri. Bisa dibayangkan Amerika Serikat yang praktek bisnis dan demokrasinya begitu berkembang, persepsi publik masih menempatkan kodrat perempuan hanya untuk di rumah.


Hal serupa juga terjadi pada tradisi gender di Indonesia. Bahkan, istilah “wanita” yang sering digunakan sebagai padanan kata perempuan menunjukkan adanya diskriminasi. Kata wanita berasal dari kata wani dithatha atau berani ditata. Makna ini menimbulkan konotasi bahwa perempuan jarang diposisikan sebagai sosok yang berada atas. Sebuah persepsi di mana perempuan selalu siap menerima perintah. Sampai sekarang persepsi itu masih lekat di masyarakat.

Adanya peraturan yang menyatakan kuota minimal perempuan yang berhak menjadi wakil rakyat secara tidak langsung justru menunjukkan jati diri perempuan sebagai makhluk yang lemah atau belum sanggup bersaing dengan laki-laki. Pasal 65 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 18 Februari 2003 “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.


Banyak penelitian tentang lambatnya kaum perempuan meraih posisi manajemen puncak. Tharenou (1998) misalnya, mengatakan, perempuan yang ingin mencapai posisi puncak seringkali gagal karena penghambat yang tak kelihatan. Penghalang itu ibarat langit-langit kaca (glass ceiling). Meski kesamaan derajat disuarakan sejak puluhan tahun silam, namun stereotipe perempuan nomor dua masih tetap ada.

Tidak mudah bagi perempuan untuk bisa mengalami pergerakan karir ke atas. Selain karena persepsi yang sudah menjadi tradisi - bahwa perempuan itu lemah, halus perasaan sehingga sulit untuk bertindak tegas, kurang agresif, dan karakter lain yang menjadi lawan dari pria yang tegas, tegar, kokoh, cepat, dan lebih mengandalkan pikiran dari pada perasaan - hambatan juga muncul dari lingkungan sekeliling seperti keluarga, masyarakat, dan tempat perempuan berinteraksi termasuk di lingkungan kerja mereka. Persepsi yang sudah menjadi budaya inilah yang menyebabkan proses emansipasi masih terlalu sulit untuk bisa diterapkan seutuhnya.

Senin, 12 April 2010

ACFTA (Ternyata) Membawa Manfaat

1 Januari 2010 merupakan awal mulai diberlakukannya ASEAN and China Free Trade Area (ACFTA). Konsekuensi dari adanya perjanjian perdagangan ini adalah pembukaan pasar dalam negeri secara luas untuk dapat dimasukibarang-barang industri dari negara yang ikut dalam perjanjian tersebut. Perjanjian ini sendiri sudah direncanakan sejak 2002 dan ditandatangani pada 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja.

Ketakutan mulai muncul dari kalangan industri dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah. Alasan utamanya adalah, usaha lokal yang dijalankan di dalam negeri akan tidak berdaya tergerus produk-produk negara lain. Hal ini diperparah dengan kondisi bangsa yang belum kompetitif untuk menjalankan usaha sebagai akibat kurangnya infrastruktur, birokrasi rumit, SDM kurang berkualitas, dan sebagainya.


Namun, jika dianalisa lebih lanjut, ACFTA dapat berpotensi sebagai upaya untuk memajukan industri yang lebih kompetitif dan menunjang kesejahteraan masyarakat. Manfaat yang dapat dirasakan Indonesia dengan menjadi bagian dalam perjanjian ini diantaranya:

  1. Peluang meningkatkan pangsa pasar ke luar negeri, khususnya wilayah ASEAN dan China.

Dengan adanya kerjasama free trade area dengan negara-negara ASEAN dan China akan membuka kesempatan bagi produsen lokal untuk bersaing dan memperluas pasar bagi produknya. Hal ini salah satunya didukung oleh ditiadakannya tarif masuk produk ke negara lain.

  1. Peluang meningkatkan investasi dari negara-negara ASEAN dan China yang akan membuka lapangan kerja dan menerap tenaga kerja Indonesia.

Semakin dibukanya akses perdagangan dan ditekannya hambatan-hambatan (barriers) perdagangan akan mendorong proses investasi ke negara yang menawarkan keuntungan lebih. Indonesia dianggap sebagai negara yang menguntungkan karena disamping potensi pasar yang besar, ketersediaan sumber daya juga menjadi alasan besarnya minat investor menanamkan modalnya.

  1. Tersedianya barang-barang yang lebih murah dan berkualitas sehingga daya beli masyarakat akan meningkat serta kepuasan konsumen akan lebih terpenuhi.

Peningkatan persaingan produsen di negara-negara ASEAN dan China menuntut terciptanya proses produksi dan turunannya yang efisien. Konsekuensi logis yang dihasilkan adalah munculnya produk-produk yang lebih terjangkau dan berkualitas.

  1. Meningkatkan proses produksi di Indonesia yang lebih efisien.

Dengan diberlakukannya ACFTA, produsen-produsen di Indonesia akan semakin mudah untuk mendapat bahan mentah, modal, tenaga kerja dan sumber daya lainnya sehingga proses produksi akan semakin lancar dan efisien.

  1. Meningkatkan posisi tawar Indonesia ketika melakukan penawaran kerjasama bilateral dengan negara lain, terutama terhadap negara maju.

Jika Indonesia keluar dari ACFTA, maka alternatif untuk tetap menjalin perdagangan internasional adalah dengan menjalin perdagangan bilateral (Bilateral Free Trade Agreement). Akan menjadi masalah ketika Indonesia membuat BFTA dengan negara yang lebih maju, yakni Indonesia akan memiliki posisi tawar yang lebih lemah, dan akhirnya akan membahayakan proses negosiasi bagi Indonesia. Salah satu contohnya ketika Indonesia negosiasi dengan Amerika Serikat pada tahun 2004 di bidang tekstil dan furnitur, dimana AS memaksa memasukkan pasal mengenai HAKI (hak intelektual) meski belum disahkan secara global. Pasal inilah yang akhirnya merugikan bagi Indonesia.

  1. ACFTA merupakan kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dimana dilakukan dengan model consultation (musyawarah) yang tetap mempertimbangkan kemampuan anggota yang paling lemah.

Dengan demikian, nogosiasi menggunakan forum ASEAN menjadi sangat hati-hati. Negosiasi ini akan menjadi lebih ‘aman’ dibandingkan dengan BFTA.

  1. ACFTA akan menimbulkan trade creation yang akan mendorong terciptanya keunggulan komparatif masing-masing perekonomian.

Trade creation terjadi saat produksi domestik di suatu negara digantikan dengan barang impor- yang biaya produksinya lebih rendah- dari negara lain yang berpartisipasi dengan FTA. Hal ini dengan sendirinya akan mendorong spesialisasi dari setiap negara dengan asumsi bahwa seluruh sumber daya digunakan dalam proses ekonomi. Peningkatan spesialisasi dari setiap negara- berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing- akan membuat kesejahteraan masyarakat meningkat dengan memaksimalkan spesialisasi yang dimiliki tersebut.


Dalam jangka pendek, ACFTA pasti akan berdampak pada penyesuaian struktural yang ditandai adanya adjustment dimana industri dalam negeri yang tidak kompetitif akan kalah dan merugi. Inilah yang kemudian akan menyebabkan defisit perdagangan bilateral Indonesia-China memburuk. Tapi dalam jangka panjang, industri domestik akan menjadi semakin kompetitif, professional, aware akan persaingan dan memaksa setiap negara untuk berinvestasi pada kualitas SDM, modal fisik, serta teknologi. Sehingga nantinya keunggulan komparatif akan meningkat dan masyarakat menjadi lebih sejahtera berkat perdagangan internasional.

Tak Kusangka Mengapa Bisa Terjadi Seperti Ini

Senin, 15 Maret 2010. Hari ini adalah hari pertama UTS enamku. Hahh, udah semester enam?? Ga terasa, umurku di kampus ini tidak lama lagi.

Setelah meluangkan waktu sejenak bergumul dengan serangkaian soal-soal Pemasaran Jasa, aku memutuskan untuk bersantai dahulu bersama temanku. Sembari menunggu hujan reda, kami berbincang di selasar dekanat. Hari ini (seperti ujian biasanya) aku merasa jengkel karena ga bisa mengerjakan ujian dengan baik. “Lain kali aku harus lebih serius mempersiapkannya,” begitu janjiku dalam hati.


Setelah sekian lama berbincang sambil bertukar pikiran, meskipun kebanyakan ngobrol yang ga jelas, kami dihampiri seorang bapak separuh baya. Dengan penuh keheranan, dia menanyakan prosedur mengurus surat izin ujian susulan bagi anaknya. Bajunya yang basah kuyup menandakan ketidak berdayaan dia melawan cuaca. Bapak itu berbicara dengan terbatah-batah, heran sekaligus pasrah. Kasihan aku melihatnya. Tapi pengorbanannya untuk pendidikan anak memang tak terucap lagi dengan kata-kataku.


“Ke ruang Birpen aja pak! Ntar diurus di sana.” sahutku. Si bapak mengiyakan perkataanku. Tapi dia juga menambahkan kalo dia sudah dari ruangan itu. Permasalahannya adalah surat keterangan dokter yang ia bawa tidak cukup membuktikan kesakitan putrinya. Peraturan mengatakan yang berlaku hanyalah surat keterangan rawat inap. “Gimana ya dek, bagusnya?” tanya si bapak penuh kebingungan. Putrinya yang mengalami sakit pada kepala (pusing) ditambah pinggangnya yang tak kuat untuk duduk berlama-lama memang hanya diobati dengan rawat jalan. Bahkan, tambah si bapak, anaknya juga terkadang di bawah ke pengobatan tradisional dengan obat-obatan yang tidak terlalu mahal.


Kalau ga salah nama putri bapak itu Nendi (sengaja disamarkan untuk kepentingan orang tersebut). Bapak itu bilang dia jurusan akuntansi angkatan 2009.

Sambil memancarkan kesedihan, si bapak melanjutkan curhat ke kami tentang anaknya. “Anak saya susah disuruh makan dek. Sering pulang malam dari kampus, langsung ngerjain tugas sampe lupa makan.” Imbuhnya. “Apalagi dia suka puasa, tapi sering ga sahur. Bapak pusing juga mikirin kesehatannya.”


Jedah……..


“Bapak takut dia ga bisa ikut ujian, kan kasian dianya.” bapak itu membangunkanku dari lamunan. Ya, aku sedang melamun pada saat itu. Aku teringat tentang banyak teman-temanku yang mengalami hal serupa. Tapi untungnya mereka punya banyak sumber daya, jadi mendapatkan surat keterangan rawat inap dari rumah sakit bukan hal yang sulit. Bahkan ada yang sekedar mengurus surat rawat inap meskipun sebenarnya dia tidak mesti dirawat inap. Uangnya pasti cukup untuk membayar petugas rumah sakit, atau seenggaknya dia punya kerabat yang bekerja di sebuah rumah pesakitan itu. Bagaimana dengan si bapak ini? Kalo dilihat dari kondisi fisiknya, sepertinya dia bukan dari kalangan berada.


Sial, mengapa ada peraturan seperti itu? Mengapa surat keterangan dokter tidak berlaku? Apakah dekanat sudah tidak percaya lagi dengan profesionalitas dokter? Apakah ketika orang-orang dekanat sakit, mereka selalu dirawat inap? Atau memang dekanat ingin menyusahkan orang yang sudah susah?


Bagaimana orang-orang yang sakit migren, diare ringan, sakit perut, pusing, demam biasa, atau penyakit lainnya yang sebenarnya ga butuh rawat inap? Untuk apa dirawat inap? Dengan beristirahat sejenak ditambah perawatan sederhana (sekedar makan paracetamol) saja penayakit itu bisa sembuh. Apa mereka harus berbohong pada dokter kalo penyakitnya parah dan butuh dirawat inap? Apa mereka dan dokter harus bohong bareng untuk mengeluarkan surat rawat inap? Atau kebohongan apa lagi yang harus mereka lakukan?


Peraturan memang penting untuk diberlakukan. Tapi peraturan itu kan dibuat untuk mengatur kehidupan biar lebih tertib. Maksudnya ketika terjadi kesalahan dengan peraturan itu, atau mungkin peraturan tersebut tidak relevan lagi, mengapa masih tetap dijalankan? Bukannya justru peraturan yang salah ketika diberlakukan akan menciptakan kesalahan? Apakah kita sudah tidak bisa lagi membuat peraturan sendiri yang sesuai dengan keperluan ketertiban kita? Apakah kita kehabisan akal untuk merumuskan peraturan yang lebih adil?


Surat keterangan rawat inap buat ujian susulan memang sebuah peraturan yang bodoh dan kaku. Mungkin lebih tepatnya orang yang merumuskannya yang bodoh. Tapi lebih bodoh lagi orang-orang bagian dari sistem yang menjalankan peraturan itu hanya pasrah dan justru menjunjungnya.