Sabtu, 10 Juli 2010

Nasionalisme dalam Memandang Perdagangan Internasional

“Bayangkan bahwa ada sebuah penemuan spektakuler: mesin yang dapat mengubah jagung menjadi perlengkapan stereo. Ketika bekerja dengan kapasitas maksimum, mesin ini dapat mengubah lima puluh karung jagung menjadi CD player. Atau melalui satu tekanan tombol mesin ini akan mengubah lima ratus karung kacang kedelai menjadi sebuah mobil sedan. Tapi mesin ini bahkan bisa lebih hebat lagi; ketika diprogram dengan tepat dia dapat mengubah software Windows menjadi anggur Perancis terbaik. Atau pesawat Boeing 747 menjadi buah-buahan dan sayuran untuk memberi makan satu kota selama berbulan-bulan. Bahkan hal paling luar biasa dari penemuan ini adalah dia dapat dibuat dimana saja di seluruh dunia dan dapat diprogram untuk mengubah apa saja yang ditanam atau diproduksi disana menjadi sesuatu yang lebih sulit dibuat .... Luar biasanya, penemuan ini telah ditemukan. Namanya perdagangan.”

(Charles Wheelan, dalam Naked Economics)


Sejak dulu perdagangan bebas adalah topik yang sarat dengan perdebatan. Namun belakangan ini perdebatan seputar perdagangan bebas semakin sering terdengar, apalagi setelah berlakunya ACFTA. Sebagian orang menentang perdagangan yang semakin bebas, sedangkan yang mendukungnya juga banyak. Argumennya pun ada bermacam-macam, mulai dari yang logis berdasarkan ilmiah sampai yang sekedar alasan emosional saja.


Bila dikaitkan dengan nasionalisme, perdebatan tentang perdagangan bebas biasanya mengarah pada pengaruhnya terhadap industri nasional. Nasionalisme merupakan antitesis dari globalisasi. Beberapa orang mengatakan bahwa perdagangan bebas akan mematikan industri nasional yang masih lemah, sehingga nantinya dapat menghancurkan jutaan lapangan pekerjaaan. Hilangnya lapangan pekerjaan ini dapat meningkatkan kemiskinan dan menyengsarakan rakyat Indonesia. Ujung-ujungnya, biasanya orang yang mengaku nasionalis akan menolak perdagangan bebas dan mengupayakan ditutupnya perekonomian Indonesia dari pengaruh internasional, seperti mengumandangkan kampanye “Beli Produk Indonesia!”. Apakah nasionalisme yang seperti itu sudah benar?


Di Indonesia, perdangangan memang belum sepenuhnya bebas, meskipun kecenderungannya sejauh ini adalah ke arah yang lebih bebas. Lalu bagaimana pengaruh perdagangan bebas bagi industri nasional yang sering diperdebatkan ini? Hasilnya memang belum dapat dipastikan, namun kita dapat melihat apa yang terjadi sejauh ini. Indonesia memulai kebijakan perdagangan yang lebih terbuka sejak menerapkan kebijakan industri berorientasi ekspor di pertengahan 1980-an. Kebijakan orientasi ekspor ini artinya mengembangkan industri yang berfokus pada mengekspor hasil produksinya. Jika mau mengekspor, tentu perdagangan harus dibuka dahulu, karena masalah ekspor-impor ini tidak bisa sepihak saja. Bukti empiris menunjukkan bahwa semenjak itu, industri Indonesia termodernisasi, pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan jutaan lapangan pekerjaan modern telah terbuka. Selama pertengahan 1980-an hingga pertengahan 1990-an, pertumbuhan sektor industri manufaktur Indonesia adalah sekitar 10%-12% per tahun. Sedangkan dalam hal pekerjaan, proporsi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor industri meningkat dari 9,28 persen di tahun 1985 menjadi 12,88 persen di tahun 1997. Ini adalah bukti bahwa perdagangan telah membantu Indonesia dalam membangun sektor industri dan membuka lapangan pekerjaan modern bagi jutaan orang.


Dari sisi kesejahteraan, meskipun ada banyak faktor lain yang memengaruhinya, jelas masyarakat Indonesia saat ini lebih sejahtera dibanding katakanlah di tahun 1960-an dan 1970-an, ketika negara ini jauh lebih tertutup dalam perdagangan. Angka kemiskinan mengalami penurunan signifikan dalam lima puluh tahun terakhir, sedangkan pendapatan terus meningkat. Kualitas kesehatan masyarakat pun tidak dapat disangkal telah jauh meningkat yang tercermin dari peningkatan angka harapan hidup, turunnya angka kematian ibu dan bayi dan bebagai indikator lainnya. Sekali lagi memang tidak dapat dikatakan bahwa perdagangan adalah satu-satunya penyebab dari semua ini, namun secara logis tentu ada hubungannya. Tanpa terbukanya lapangan kerja dari industri berorientasi ekspor, siapa yang tahu akan setinggi apa tingkat pengangguran dan kemiskinan pada saat ini? Lalu tanpa masuknya alat kesehatan, obat-obatan serta pertukaran gagasan dan ilmu dari negara lain, tidaklah mungkin kualitas kesehatan masyarakat akan dapat ditingkatkan begitu pesat. Semua ini menunjukkan bahwa perdagangan telah membawa begitu banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia.


Meskipun sudah melihat beberapa manfaat perdagangan yang telah diterima Indonesia, manfaat yang terbesar justru belum diutarakan, yaitu luasnya pilihan yang terbuka oleh perdagangan. Mengapa pilihan begitu penting? Karena dengan terbukanya pilihan maka masyarakat dapat memutuskan untuk memilih mana yang terbaik bagi mereka tanpa harus terusik dari mana pilihan itu berasal. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat (dalam bentuk konsumsi) yang melakukan pilihan tanpa dibatasi oleh keharusan membeli produk dengan harga lebih mahal dari beberapa perusahaan nasional yang mungkin kurang efisien. Bayangkan bahwa tanpa perdagangan yang meibatkan dunia internasional, masyarakat harus memakai kendaraan bermotor, ponsel, komputer, televisi, dan lain-lain yang dibuat di dalam negeri. Padahal belum tentu kualitasnya lebih bagus dan harganya lebih murah. Kalaupun terjadi, masyarakat Indonesia juga dipaksa bersabar untuk menunggu kemampuan industri nasional yang mandiri dalam memproduksi barang-barang tersebut. Seperti yang telah disampaikan pada pembukaan tulisan ini, perdagangan telah memungkinkan masyarakat untuk mengubah barang atau jasa yang mampu diproduksinya sendiri menjadi apapun yang jauh lebih sulit dan mahal bila harus dibuat sendiri.


Perdagangan memang juga tidak selamanya manis, dia akan menghukum mereka yang malas, tidak berinovasi, dan tidak mau berkompetisi. Memang benar bahwa ada perusahaan-perusahaan domestik yang terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Pada umumnya perusahaan yang harus gulung tikar ini adalah perusahaan yang kurang kompetitif dan kurang efisien, perusahaan-perusahaan seperti itu memang selayaknya dihukum agar masyarakat dapat memperoleh barang dan jasa dengan harga yang lebih terjangkau dan berkualitas.


Ironisnya, terkadang mereka tidak efisien dan tidak kompetitif juga bukan sepenuhnya salah mereka. Terkadang yang menjadi alasan bahwa perusahaan domestik tidak kompetitif adalah keadaan iklim usaha Indonesia yang memang belum mendukung. Diantaranya yang membuat tidak kompetitif adalah infrastruktur buruk, birokrasi yang rumit, peraturan ketenagakerjaan yang terlalu kaku, pemerintahan yang belum bersih, dan berbagai hal lainnya. Dengan demikian jelas bahwa kekalahan dalam perdagangan itu adalah karena kekurangan domestik, sedangkan perusahaan asing yang lebih kompetitif tidak mungkin dapat dipersalahkan.


Bagaimana Seharusnya Nasionalis Menyikapi Perdagangan Bebas?

Nasionalis sejati tentunya akan melakukan yang terbaik bagi negaranya. Jika perdagangan internasional justru menguntungkan buat rakyat Indonesia, tentu nasionalis akan menyetujuinya. Kalau masalah dalam perdagangan terletak di negeri sendiri, seorang nasionalis akan berjuang untuk memperbaikinya, bukannya menyalahkan negara lain dan minta perdagangan ditutup. Dalam hal ini, semangat nasionalisme harus ditempatkan pada posisi yang benar. Untuk itu, nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif perekonomian serta membantu menciptakan iklim usaha yang juga kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing.


Lalu bagaimana dengan seruan “Beli produk Indonesia” yang sering diteriakkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya nasionalis? Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, salah satu keuntungan terbesar dari perdagangan adalah terbukanya pilihan. Bukankah seruan tersebut jelas sekali membatasi pilihan? Ambil satu contoh, misalnya dalam hal pakaian. Saat ini pakaian murah dari Cina telah sangat besar jumlahnya di Indonesia, dan masyarakat Indonesia yang tingkat pendapatannya tidak terlalu tinggi sangat tertarik untuk membelinya karena harganya yang murah. Tentunya bukan salah mereka jika memilih pakaian yang lebih murah. Pendapatan atau tingkat kesejahteraan lah yang memaksa mereka. Dalam kasus ini jelas bahwa tersedianya pilihan sangat menguntungkan terutama bagi masyarakat miskin, dan memang seperti ini kasusnya untuk sebagian besar barang yang diimpor dari Cina. Nasionaliskah bila seseorang melarang orang miskin mencukupi kebutuhannya? Nasionalis yang sebenarnya tentu tidak akan sepicik itu.


Seorang ahli ekonomi, Dudley Seers (1981) mengatakan bahwa ketergantungan ekonomi tidak dengan sendirinya menutup ruang bagi negara untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Langkah yang harus dipastikan ialah terjaganya otonomi untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan guna meletakkan fondasi ekonomi nasional yang tangguh dan berdaya saing. Ketergantungan pada utang, modal dan produk asing harus diimbangi dengan kemampuan memperkokoh, memperdalam dan mengintegrasikan struktur ekonomi dan industri bangsa. Dengan memanfaatkan perdagangan internasional, Indonesia harus mampu mengupayakan suatu strategi pembangunan ekonomi yang secara sistematis dapat menggeser keunggulan kompetitif Indonesia dari tenaga kerja murah dan berpangku pada sumber daya alam menuju kepada sebuah ekonomi yang didominasi oleh sumber daya manusia yang trampil dan profesional, produksi manufaktur yang berdaya saing tinggi serta mampu memberikan pelayanan (service) yang unggul dan berkualitas.


Dengan demikian, seorang nasionalis seharusnya mampu berpikir secara kritis dalam mencari solusi terbaik bagi negaranya. Sehingga yang diteriakkan bukan lagi sekedar “Beli produk Indonesia”, tapi “Lanjutkan Reformasi Birokrasi!” atau “Perbaiki infrastruktur!” karena nasionalis itu sadar masalahnya ada di Indonesia. Bahkan jika memungkinkan, nasionalis dapat berperan memajukan perekonomian Indonesia secara langsung dengan berkarya sebagai entrepreneur dan membuka usaha. Seperti itu baru layak disebut nasionalis, berpikiran terbuka dan tahu apa yang harus diperjuangkan.

1 komentar:

fairleiracca mengatakan...

How to make money on virtual reality games
Learn หาเงินออนไลน์ all about virtual reality games m w88 and where to start. Find out 사설토토 how to become a game pro. 실시간 바카라 사이트 미니미닝 Play games like NHL Hockey 벳 매니아 and the NHL Draft.