Kamis, 25 September 2008

Bangsa yang Ramah itu Telah Punah

“Indonesia??
Hmm,,,i don’t know,
Is it a place where Poso’s conflict was occurred,??.

Kalimat tersebut merupakan kata-kata yang keluar dari seorang warga Amerika Serikat yang di wawancarai wartawan Voice of America (VoA) ketika ditanyai pertanyaan sejauh mana warga asing mengetahui bangsa ini.

Sungguh menyedihkan ketika warga di dunia mengenal Indonesia sebagai negara yang populer dengan pertikaian dan kerusuhan. Benarkah bangsa ini hanya berisikan orang-orang yang bertindak seperti binatang yang siap ‘memakan’ saudaranya sendiri? Atau sudah tidak ada lagi kah moral warga bangsa ini?

Begitu banyak kasus kebrutalan manusia yang terjadi di pelosok negeri yang katanya ramah ini. Media sepertinya tidak pernah kehabisan berita mengenai permasalahan ini. Pertikaian akibat konflik agama, politik, suku, sampai kekerasan dalam lembaga pendidikan selalu mewarnai acara televisi. Bahkan untuk contoh kasus yang terakhir terasa lebih spesial. Hal ini dikarenakan sekolah atau kampus yang notabene sebagai saana menuntut ilmu kini dijadikan ajang adu kekuatan, baik internal lembaga tersebut maupun yang terjadi antar lembaga pendidikan. Lembaga STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) merupakan institusi pendidikan yang sedang ’hangat’ di sorot kamera.

Sebuah surat kabar yang beroperasi di Prancis menempatkan Indonesia di urutan 4 sebagai negara dengan tingkat kerusuhan tertinggi di dunia. Bahkan Indonesia diprediksikan akan merebut singgasana puncak menyusul sering terjadinya unjuk rasa yang berakhir bentrok dalam menuntut pertanggungjawaban pemerintah ketika menaikkan haraga BBM. Bahkan fakta ’miris’ menunjukkan bahwa adanya konflik kepentingan (baca:politik) yang melatarbelakangi berbagai kerusuhan yang terjadi. Teori konspirasi ini muncul terutama menjelang pesta demokrasi terbesar di negeri ini. Pertikaian politik akan menambah panas atmosfer negeri ini. Elit-elit politik akan melakukan segala cara untuk mendapatkan ’kursi’ di pemerintahan. Sekali lagi rakyat yang akan menjadi tumbalnya.

Sebuah studi psikologi mengatakan kondisi emosi seseorang dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya faktor ekonomi. Kondisi ekonomi yang terpuruk ditambah melambungnya harga bahan pokok mungkin dapat dijadikan suatu alasan mengapa penghuni negeri ini bergerak seperti singa-singa lapar yang akan menerjang siapa saja yang berani menghalangi mereka. Selain itu, faktor pendidikan juga cukup memegang peran penting dalam menentukan tingkat moral dan kepedulian sosial seseorang.

Sekali lagi negara ini belum mampu menunjukkan bukti perbaikan di segala bidang. Bahkan bisa di bilang mengalami kemunduran. Keberhasilan pemerintah paskah reformasi harus dipertanyakan lagi. Kesalahan memang tidak bisa ditujukan hanya bagi kalangan pemerintah. Namun, setidaknya bangsa ini terlalu menawarkan keuntungan yang melimpah bagi siapa saja yang menduduki posisi sebagai aparatur negara. Hal inilah yang membuat mereka lupa akan tugas dan tanggung jawabnya. Bahkan terlibat saling sikut dalam menjalankan wewenangnya. ’Pendidikan’ secara tidak langsung ini mengajarkan rakyatnya menjadi tidak saling peduli terhadap sesama. Hal ini membuat sendi-sendi kehidupan sosial dan pergaulan bersama berada pada titik terendah dalam kasta kehidupan.

Tidak ada komentar: