Senin, 12 April 2010

Tak Kusangka Mengapa Bisa Terjadi Seperti Ini

Senin, 15 Maret 2010. Hari ini adalah hari pertama UTS enamku. Hahh, udah semester enam?? Ga terasa, umurku di kampus ini tidak lama lagi.

Setelah meluangkan waktu sejenak bergumul dengan serangkaian soal-soal Pemasaran Jasa, aku memutuskan untuk bersantai dahulu bersama temanku. Sembari menunggu hujan reda, kami berbincang di selasar dekanat. Hari ini (seperti ujian biasanya) aku merasa jengkel karena ga bisa mengerjakan ujian dengan baik. “Lain kali aku harus lebih serius mempersiapkannya,” begitu janjiku dalam hati.


Setelah sekian lama berbincang sambil bertukar pikiran, meskipun kebanyakan ngobrol yang ga jelas, kami dihampiri seorang bapak separuh baya. Dengan penuh keheranan, dia menanyakan prosedur mengurus surat izin ujian susulan bagi anaknya. Bajunya yang basah kuyup menandakan ketidak berdayaan dia melawan cuaca. Bapak itu berbicara dengan terbatah-batah, heran sekaligus pasrah. Kasihan aku melihatnya. Tapi pengorbanannya untuk pendidikan anak memang tak terucap lagi dengan kata-kataku.


“Ke ruang Birpen aja pak! Ntar diurus di sana.” sahutku. Si bapak mengiyakan perkataanku. Tapi dia juga menambahkan kalo dia sudah dari ruangan itu. Permasalahannya adalah surat keterangan dokter yang ia bawa tidak cukup membuktikan kesakitan putrinya. Peraturan mengatakan yang berlaku hanyalah surat keterangan rawat inap. “Gimana ya dek, bagusnya?” tanya si bapak penuh kebingungan. Putrinya yang mengalami sakit pada kepala (pusing) ditambah pinggangnya yang tak kuat untuk duduk berlama-lama memang hanya diobati dengan rawat jalan. Bahkan, tambah si bapak, anaknya juga terkadang di bawah ke pengobatan tradisional dengan obat-obatan yang tidak terlalu mahal.


Kalau ga salah nama putri bapak itu Nendi (sengaja disamarkan untuk kepentingan orang tersebut). Bapak itu bilang dia jurusan akuntansi angkatan 2009.

Sambil memancarkan kesedihan, si bapak melanjutkan curhat ke kami tentang anaknya. “Anak saya susah disuruh makan dek. Sering pulang malam dari kampus, langsung ngerjain tugas sampe lupa makan.” Imbuhnya. “Apalagi dia suka puasa, tapi sering ga sahur. Bapak pusing juga mikirin kesehatannya.”


Jedah……..


“Bapak takut dia ga bisa ikut ujian, kan kasian dianya.” bapak itu membangunkanku dari lamunan. Ya, aku sedang melamun pada saat itu. Aku teringat tentang banyak teman-temanku yang mengalami hal serupa. Tapi untungnya mereka punya banyak sumber daya, jadi mendapatkan surat keterangan rawat inap dari rumah sakit bukan hal yang sulit. Bahkan ada yang sekedar mengurus surat rawat inap meskipun sebenarnya dia tidak mesti dirawat inap. Uangnya pasti cukup untuk membayar petugas rumah sakit, atau seenggaknya dia punya kerabat yang bekerja di sebuah rumah pesakitan itu. Bagaimana dengan si bapak ini? Kalo dilihat dari kondisi fisiknya, sepertinya dia bukan dari kalangan berada.


Sial, mengapa ada peraturan seperti itu? Mengapa surat keterangan dokter tidak berlaku? Apakah dekanat sudah tidak percaya lagi dengan profesionalitas dokter? Apakah ketika orang-orang dekanat sakit, mereka selalu dirawat inap? Atau memang dekanat ingin menyusahkan orang yang sudah susah?


Bagaimana orang-orang yang sakit migren, diare ringan, sakit perut, pusing, demam biasa, atau penyakit lainnya yang sebenarnya ga butuh rawat inap? Untuk apa dirawat inap? Dengan beristirahat sejenak ditambah perawatan sederhana (sekedar makan paracetamol) saja penayakit itu bisa sembuh. Apa mereka harus berbohong pada dokter kalo penyakitnya parah dan butuh dirawat inap? Apa mereka dan dokter harus bohong bareng untuk mengeluarkan surat rawat inap? Atau kebohongan apa lagi yang harus mereka lakukan?


Peraturan memang penting untuk diberlakukan. Tapi peraturan itu kan dibuat untuk mengatur kehidupan biar lebih tertib. Maksudnya ketika terjadi kesalahan dengan peraturan itu, atau mungkin peraturan tersebut tidak relevan lagi, mengapa masih tetap dijalankan? Bukannya justru peraturan yang salah ketika diberlakukan akan menciptakan kesalahan? Apakah kita sudah tidak bisa lagi membuat peraturan sendiri yang sesuai dengan keperluan ketertiban kita? Apakah kita kehabisan akal untuk merumuskan peraturan yang lebih adil?


Surat keterangan rawat inap buat ujian susulan memang sebuah peraturan yang bodoh dan kaku. Mungkin lebih tepatnya orang yang merumuskannya yang bodoh. Tapi lebih bodoh lagi orang-orang bagian dari sistem yang menjalankan peraturan itu hanya pasrah dan justru menjunjungnya.

Tidak ada komentar: